A. Latar Belakang
Perbankan adalah segala sesuatu yang
menyangkut segala kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya. Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
orang banyak.
Dalam kegiatannya bank diatur dalam sebuah undang-undang, diantaranya UU No.10 tahun 1998 perubahan atas UU No.7 tahun 1992 serta UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah. Kegiatan bank syariah diatur oleh fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Dalan hal ini DSN-MUI akan memberikan kritik atas kegiatan yang dilakukan bank syariah yang tidak sesuai dengan semestinya fatwa tersebut.
Dalam kegiatannya bank diatur dalam sebuah undang-undang, diantaranya UU No.10 tahun 1998 perubahan atas UU No.7 tahun 1992 serta UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah. Kegiatan bank syariah diatur oleh fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Dalan hal ini DSN-MUI akan memberikan kritik atas kegiatan yang dilakukan bank syariah yang tidak sesuai dengan semestinya fatwa tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fatwa DSN-MUI tentang praktek
perbankan Syari’ah sekarang ini?
2. Bagaimana strategi pengembangan pasar
perbankan syariah di Indonesia?
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia
Pada dasarnya entitas bank syariah di Indonesia sudah dimulai sejak
tahun 1983 dengan keluarnya puket desember 1983 (pakdes 83) yang berisi
sejumlah regulasi dibidang perbankan dimana salah satunya ada peraturan yang
memperbolehkan bank memberikan kredit dengan bunga
0% (zero interest). Perkembangan dimaksud diikuti oleh serangkaian kebijakan
dibidang perbankan oleh mentri keuangan radius prawiro yang tertuang dalam paket oktober 1988 (pakto
88). Pakto 88 intinya merupakan deregulasi perbankan yang memberikan kemudahan
bagi pendirian bank – bank baru, sehingga industry perbankan pada waktu itu
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Baru pada tahun 1991 berdirilah bank mu’amalat Indonesia (BMI)
sebagai bank umum satu- satunya yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip bagi hasil. Introduksi bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam hukum
positif adalah melalui undang – undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan
peraturan pemerintah No 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip Bagi
Hasil.
Dengan demikian sejak tahun 1992 industri perbankan Indonesia
secara teknis yuridis telah mengenal istilah bank berdasarkan pada prinsip bagi
hasil. Namun, disisi lain telah kita ketahui bahwa bank syariah dalam
pengoprasianya tidak semata – mata berdasarkan
pada prinsip bagi hasil, melainkan terdapat akad – akad tradisional islam yang
didalamnya dapat di implementasikan dalam praktik bank bebas bunga yang
dimaksud. Akad – akad tradisional islam atau yang sering disebut sebagai
prinsip syariah, merupakan instrument yang menggantikan system konvensional
berupa bunga (riba), ketidakpastian (gharar), perjudian (maisyir), dan batil
yang merupakan unsur – unsur yang dilarang dalam islam.
Berdasarkan peradigma tersebut serta adanya
realitas empiris yang menunjukan bahwa bank – bank konvensional banyak yang
tidak sanggup bertahan disaat krisis keuangan dan moneter melanda. Maka mendorong
pemerintah untuk mengamandemenkan undang – undang nomor 7 tahun 1992 dituangkan
dalam undang –undang nomor 10 tahun 1998 undang –undang inilah yang mempertegas
eksistensi perbankan syariah di Indonesia.
Era undang – undang nomor 10 Tahun 1998, kebijakan hukum
perbankan di Indonesia menganut system perbankan ganda (dual banking system).
Kebijakan ini intinya memberikan kesempatan bagi bank – bank umum konvensional
untuk memberikan layanan syariah melalui mekanisme Islamic window dengan
terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). Akibatnya pasca undang –
undang ini memunculkan banyak bank konvensional yang ikut andil dalam memberikan
layanan syariah kepada nasabahnya.
Pemberian layanan syariah semakin dipermudah dengan diperkenalkanya
konsep office chanceling dalam peraturan bank Indonesia (PBI) nomor
8/3/PBI/2006. Bahwa untuk memberikan layanan office chanceling intinya adalah
bahwa dalam
memberikan layanan syariah Bank Umum konvensional yang sudah memiliki UUS di
kantor pusatnya, tidak perlu lagi membuka kantor cabang / kantor cabang
pembantu baru melainkan cukup membuka counter syariah dalam kantor cabang /
kantor cabang pembantu konvensional. Hal ini tentu saja akan menghemat keuangan
bank, karena tidak lagi memerlukan infrastruktur baru seperti gedung, alat –
alat kantor, karyawan dan teknologi informasi.
Bank umum syariah (BUS) selain BMI, pasca undang – undang nomor 10
tahun 1998 adalah didirikannya bank syariah
mandiri yang merupakan hasil akuisisi dan konversi PT. bank susila bakti oleh
PT. bank mandiri (persero) “TBK”. Disamping itu Bank Mega juga telah melakukan
proses yang sama dengan membentuk PT. Bank Syariah Mega. Sedangkan bank – bank
lain, seperti PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) (TbK),
PT. Bank Negara Indonesia (persero)”TbK, bank permata dan sebagainya dalam
memberikan layanan syariah masih dalam kerangka UUS.
Disisi produk, perbankan syariah mendasarkan pada sejumlah fatwa
yang dikeluarkan oleh dewan syariah nasional – majelis ulama Indonesia
(DSN-MUI),antara lain yakni fatwa No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
mudhorobah, fatwa No.08/DSN/MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarokah.
Materi muatan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI
kemudian menjadi materi muatan dalam berbagai PBI. Hal ini terlihat jelas dalam
PBI No.7/46/PBI 2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang
melaksanakan keegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. PBI ini saat ini
telah dicabut dengan PBI No. 9/19/pbi 2007 tentang pelaksanaan Prinsip syariah
dalam kegiatan penghimpunan dana serta pelayanan jasa bank syariah, sebagaimana
telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008.
Dalam PBI no 9/19/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam
kegiatan penghimpunan dana, atau penyaluran dan pelayanan dilakukan sebagai
berikut :
1.
Dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain
akad wadi’ah dan mudhorobah.
2.
Dalam kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan dengan
mempergunakan antara lain akad mudhorobah, musyarokah, murabahah, salam,
istisna’,ijaroh, ijaroh muntahiya bittamlik dan qordh, dan
3.
Dalam kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan akad antara lain
akad kafalah, hawalah, dan sharf.
Menurut
Wirdyaningsih dkk, hingga terbitnya undang – undang No.10 tahun 1998, Indonesia
telah melewati dua tahapan pembinaan, yaitu “tahapan perkenalan”(introduction)
yang ditandai dengan diberlakukanya undang – undang No,7 tahun 1992, dan
tahapan pengakuan (recocnition) yang ditandai diberlakukanya UU No.10 th 1998.
Tahapan yang dikendaki berikutnya adalah “tahapan pemurnian” (purification)
yang nanti akan ditandai dengan diberlakukanya UU yang secara khusus mengatur
perbankan syariah.
Dengan demikian
“tahapan pemurnian“ saat ini sudah didepan mata, karena pada tanggal 17 juni
2008 telah disahkan UU perbankan syariah yang pengundanganya dalam lembaran Negara
dilakukan tanggal 16 juli 2008, yakni UU No 21 th 2008 tentang perbankan
syariah. Undang – undang dimaksud memperkenalkan beberapa muatan baru dalam lembaga hokum baru yang
ditujukan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka
penyusunan PBI yang materi muatanya berasal dari fatwa Majelis Ulama Indonesia,
bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah. Tata cara pembentukan,
keanggotaan dan tugas komite perbankan syariah nantinya akan diatur dalam PBI. Adanya
ketentuan ini akan memunculkan sinergi antara Dakwah Syariah Nasional dengan
bank Indonesia selaku pemegang otoritas perbankan nasional.
PBI yang secara
khusus merupakan peraturan pelaksana dari UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan
syariah dan telah diundangkan hingga saat ini yaitu:
1.
PBI No. 10/16/PBI 2007 tentang pelaksana prinsip syariah dalam
kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank
syariah.
2.
PBI No. 10/17/PBI 2008 tentang produk bank syariah dan unit usaha
syariah.
3.
PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang rekonstruksi pembiayaan bagi bank
syariah.
4.
PBI No.10/23/PBI/2008 tentang perubahan kedua atas PBI
No.6/21/PBI/2004 tentang giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi
bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
5.
PBI No. 10/24/PBI/2008
tentang perubahan kedua atas PBI No. 8/21/PBI/2006 tentang penilaian kualitas
aktiva bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
6.
PBI No. 10/32/PBI/2008 tentang komite perbankan syariah.
Undang – Undang No.21 tahun 2008 juga memberi
kesempatan kepada warga Negara asing dan atau badan hukum
asing untuk mendirikan atau memiliki BUS secara kemitraan dengan warga Negara
Indonesia dan atau badan hokum Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa bank
syariah merupakan sector yang terbuka bagi investor asing yang bermaksud atau
memiliki BUS secara joint venture, sehingga ketentuan – ketentuan yang
ada didalam UU No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dan peraturan
pelaksanaanya perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh para pihak terkait.
Berdasarkan statistic perbankan syariah (Islamic bank statistic)
yang dikeluarkan bak Indonesia pada bulan November 2008 jaringan kantor
networking terdiri dari 4 (empat) bank umum syariah, yakni PT. Bank Muamalat
Indonesia, PT. Bank Syariah Mandiri, PT. Bank Syariah Mega Indonesia dan PT. Bank
Syariah BRI. Unit usaha Syariah (UUS) bank konvensional yang memberikan layanan
syariah berjumlah 27 dan bank perkreditan rakyat syariah berjumlah 128.16
Secara
bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara
sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk
meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Melihat perkembangan hukum
yang menopang industry perbankan syariah di Indonesia berlangsung begitu pesat,
maka akan menimbulkan implikasi baik yang positive maupun yang negative. Untuk
itu maka perlu ada kesiapan dari pelaku bisnis dibidang perbankan untuk menyiapkan
sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi dan pemahaman terkait dengan
aspek – aspek perbankan syariah menyangkut aspek fikih maupun aspek hukum
positif yang mengitarinya, serta kecermatan dalam pengembangan produk perbankan
syariah.
Pengembangan
perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi
masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh
karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu
kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan
Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah
merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam
skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
“Cetak Biru
Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran
pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan
prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam
kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu
pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui
pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional
dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor
keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka
pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar
domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan
Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi
memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya,
sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah
perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat
Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan
bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara
bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa
Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana
bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka
upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan
diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan negeri.
B. Fatwa DSN-MUI Tentang Perbankan Syari’ah
a. Fatwa
tentang akad Mudharabah (bagi hasil)
Akad Mudharabah
merupakan akad
yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu,akad ini
dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah
menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000,
yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah. Dalam fatwa nomor tersebut disebutkan: “LKS
(lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian
akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa
Dewan syariah Nasional MUI hal. 43) Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN
menyatakan: Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan
pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat
dari mudharabah, dan
pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari
kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.”[1]
Tetapi Praktek perbankan syariah di lapangan masih jauh
dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan
ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan
dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat
pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional. Tetapi fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah
yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga
pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih
diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun
ia mengalami kerugian usaha.
b.
Fatwa Tentang
Murabahah Kontemporer.
Akad Murabahah
adalah
satu satu produk perbankan syariah yang banyak diminati masyarakat.
Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan
atau kredit dalam perbankan konvensional yang
tentu sarat dengan riba. Kebanyakan
ulama dan juga berbagai lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan
akad murabahah
kontemporer. Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI,
juga membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya no:
04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa DSN ini, menjadi payung dan pedoman bagi perbankan
syariah dalam menjalankan akad murabahah. DSN pada
fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah menyatakan: “Bank
membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian
ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah
Nasional MUI hal.24) dalam hal ini bank mana
yang benar-benar menerapkan ketentuan ini sehingga barang yang diperjual
belikan benar-benar telah dibeli oleh bank.
Pada prakteknya, perbankan syariah, hanya melakukan akad murabahah
bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan
pembayaran sebagian nilai barang (bayar uang muka). Tidak ada bank yang berani
menuliskan pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian
menjualnya kembali kepada nasabah. Seperti kita mengetahui bahwa perbankan di negeri kita,
baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan sebagai badan
intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan,
dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi
dan faktanya, bank tidak dibenarkan untuk melakukan praktek perniagaan praktis.
Dengan ketentuan ini, bank tidak mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas
nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah melanggar ketentuan DSN
MUI di atas.
C. Strategi Pengembangan
Pasar Perbankan Syari’ah
1.
Program
pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang
secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal
atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi
masing-masing bank syariah.
2.
Program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk
yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan)
dan dukungan jaringan kantor yang luas
dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
3.
Program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang
kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan
kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah
kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah;
dan
4. Program sosialisasi dan edukasi masyarakat
secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung,
maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang
bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa
perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dll.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kegiatan yang dilakukan oleh Bank Syariah
dalam prakteknya belum sesuai dengan fatwa DSN-MUI, baik dalam kegiatan
mudhorobah (bagi hasil), maupun dalam kegiatan murabahah kontemporer.
2. Strategi yang dilakukan bank syariah dalam
pengembangan pasarnya adalah:
a.
Program
pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang
secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal bagi
semua lapisan masyarakat.
b.
Program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk
yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling
menguntungkan) dan dukungan jaringan
kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
c.
Program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten
dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan
nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada
nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
d. Program sosialisasi dan edukasi masyarakat
secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung,
maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang
bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa
perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dll.
DAFTAR PUSTAKA
Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI
UU No.10 tahun
1998 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan
UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan
syari’ah.
UU No.7 tahun 1992 Tentang Perbankan
makalah yang bermanfaat. . .
BalasHapuskoq bisa lembaga keuangan mangaku tanpa riba???? terus keuntungannya datang dari mana?? bank syariah menerapkan sistem bagi hasil,lalu hasilnya dari mana??? dari hasil apa yang dibagi? konvensional dan syariah sama. sama sama memperoleh keuntungan yang gak jelas.. tabungan 100% halal yaitu celengan dirumah sendiri itupun masih ada infaq yang harus di tunaikan.. atas nama BANK=RIBA CELENGAN=HALAL.. bank atas nama islam adalah upaya mencari celah untuk menghalalkan riba, riba yang menyebabkan seorang muslim kekal di jahanam.
BalasHapusCasino and Racetrack - Mapyro
BalasHapusFind your way around the 안동 출장마사지 casino, find where everything is located with 광주 출장샵 a map. Discover the casinos, 경주 출장샵 games, 안동 출장마사지 restaurants, shops, Rating: 3.2 군산 출장마사지 · 1,119 votes