This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 17 April 2012

manajement Ppengelolaan zakat masa modern (BAZ-LAZ)

     Latar Belakang
Manusia yang beragama Islam mempunyai kewajiban untuk beribadah kepada Allah. Ibadah disini tidak hanya sholat, tetapi masih banyak diantaranya: puasa, zakat. Zakat adalah memberikan sebagian harta kepada orang yang berhak menerima setelah mencapai nishab dan haul. Zakat disini ada berbagai macam, selain zakat maal dan zakat fitrah. Ada pula zakat profesi, barang temuan, dll.
Dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat disini ada yang langsung kepada badan amil zakat dan langsung disalurkan kepada mustahik zakat, dan ada juga melalui lembaga pengelolaan.
zakat yaitu, BAZ dan LAZ. Lembaga tersebut mempunyai fungsi yang sangat optimal dengan mendayagunakan zakat secara proposional dan profesional, mendapatkan hasil maksimal, efektif dan efisien serta terwujudnya cita-cita pensyariatan zakat.[1]
Dengan adanya BAZ dan LAZ ini pendistribusian zakat akan sesuai dengan perintah agama, dan tersalurkan secara merata.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian BAZ dan LAZ?
2.      Bagaimana tehnik/cara pengumpulan zakat oleh BAZ dan LAZ?
3.      Bagaimana pendistribusian zakat itu?




PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Kata zakat secara etimologi berarti “suci”, “berkembang”, dan “barakah”. Menurut istilah Fiqh Islam, zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, dengan aturan-aturan yang telah ditentukan di dalam syara’.[2]
Asy-Syaukani mengatakan bahwa zakat itu “Memberi suatu bagian dari harta yang sudah sampai nishab kepada orang fakir dan sebagainya, yang tidak bersifat dengan sesuatu halangan syara’ yang tidak membolehkan kita memberikan kepadanya.”
Jadi zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada pihak yang berhak menerimanya, sesuai ketentuan syara’.
Dasar hukum diwajibkannya mengeluarkan zakat dalam Islam adalah sebagaimana firman Allah dalam al Qur’an diantaranya terdapat dalam surat:
a.       Al Baqarah ayat 110
واقيمواالصلوۃوتواالزكوۃ
Dan tegakkanlah shalat dan bayarkanlah zakat
b.      Al Mukminun ayat 1-4
قدافلح المۉمنون﴿۱ۙ﴾  الذين هم في صلوتهم خا شعون ﴿۲﴾ والذين هم عن اللغومعرضون ﴿٣﴾ والذين هم للزكوة فاعلون﴿٤﴾
sungguh berbahagia orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang menjalankan sholat dengan khusyu’ dan orang-orang yang berpaling dari perbuatan yang tidak berguna dan orang-orang yang menunaikan kewajiban zakat”.

B.     Pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ)
Pembentukan Badan Amil Zakat tidak dapat dilepaskan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ). Berdasarkan Undang-undang tersebut pengelolaan zakat di Indonesia akan dilakukan oleh dua macam institusi, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZ merupakan organisasi pengelolaan zakat yang dibentuk oleh pemerintah, sedangkan LAZ merupakan organisasi pengelolaan zakat yang dibentuk atas prakarsa masyarakat.[3]
Keberadaan BAZ dapat dijumpai dari tingkat nasional sampai tingkat nasional sampai tingkat kecamatan. Pembentukan BAZ untuk tingkat nasional dilakukan oleh presiden atas usul menteri agama. Untuk tingkat daerah propinsi oleh Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama pripinsi. Untuk daerah Kabupaten atau daerah kota oleh Bupati atau Wali kota atas usul Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten atau kota dan untuk tingkat kecamatan oleh Camat atas usul Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan (pasal 6 UUPZ). Badan Amil Zakat di semua tingkatan tersebut memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif dan informatif.
Tugas pokok BAZ yaitu, mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama yang berasaskan iman, dan takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (pasal 4).
Pengumpulan zakat dilakukan dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki setelah ada pemberitahuan dari yang bersangkutan. Zakat yang dikumpulkan terdiri dari zakat Mal (zakat harta) dan zakat Fitrah (zakat jiwa). Dalam pengumpulan zakat, BAZ dapat bekerjasama dengan bank untuk mengambil zakat harta dari muzakki yang ada di bank itu atas permintaan dari muzakki. Yang dimaksud disini adalah muzakki memberikan kewenangan kepada bank untuk memungut zakat simpanan muzakki yang kemudian diserahkan kepada Badan Amil Zakat.
Dalam pengumpulan zakat, semuanya tergantung pada kesadaran muzakki sendiri untuk menunaikannya. Pengurus BAZ tidak memaksa setiap umat Islam yang memenuhi syarat untuk mengeluarkan zakatnya. Karena dalam UUPZ tidak ada landasan yuridis bagi BAZ untuk melakukan tindakan demikian, dan tidak dikenakan sanksi bagi para  muzakki yang menolak mengeluarkan zakat.
BAZ setiap tahun diwajibkan memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya.

Terdapat sembilan kunci profesionalitas organisasi ZIS yang kokoh dan tangguh:
a.       kekuatan dasar
1.      misi dan program kerja  yang  jelas
2.      tim kerja yang profesianal dan tangguh
3.      kepemimpinan pengelola yang berpandangan ke depan
b.      kekuatan operasional
4.      arus kas amil yang harus positif
5.      komunikasi yang efektif dengan mustahik dan muzakki
6.      sistem kerja yang efisien dan profesional
7.      taat azas kerja BAZ-LAZ dan hukum fiqh, termasuk UU pengelolaan zakat
8.      menghasilkan produk layanan mustahik-muzakki pengembangan dan perluasan cakupan layanan yang selalu diperbaiki
9.      melakukan evaluasi kemajuan untuk mencapai sasaran tanpa henti.

C.    Struktur Organisasi Badan Amil Zakat
Struktur organisasi memiliki peranan penting untuk mengatur dan mengkoordinasikan tindakan pegawai dalam mencapai tujuan organisasi. Tanpa adanya struktur yang jelas, pegawai akan bekerja tanpa arah, bekerja menurut kemauannya sendiri dan akhirnya tidak hanya organisasi itu yang dirugikan tetapi juga masyarakat.
Zakat merupakan sumber dana yang cukup potensial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu organisasi yang profesional untuk mengelolanya. Pengelolaan zakat yang dimaksud adalah mencakup kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasaan dalam pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaaan zakat.
Salah satu organisasi yang bergerak dalam pengelolaan zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ). Ada tiga bagian pokok dalam organisasi ini, yaitu Dewan Pertimbangan, Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.[4] Masing-masing memilki tugas spesifik. Dewan Pertimbangan adalah memberikan pertimbangan, fatwa, saran dan rekomendasi tentang pengembangan hukum dan pemahaman mengenai pengelolaan zakat. Adapun tugasnya adalah:
a.         Menetapkan garis kebijakan umum Badan Amil Zakat bersama Komisi pengawas dan badan pelaksana.
b.        Mengeluarkan fatwa syari’ah baik diminta maupun tidak berkaitan dengan hukum zakat yang wajib diikutioleh pengurus Badan Amil Zakat.
c.         Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.
d.        Menampung, mengolah dan menyampaikan pendapat umat tentang pengelolaan zakat (pasal 5 Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000).[5]

Komisi pengawas merupakan bagian yang berfungsi melaksanakan pengawasan internal atas operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana. Pengawasan tersebut:
a.    Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan
b.    Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan.
c.    Mengawasi operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana yang mencakup pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan.
d.   Melakukan pemeriksaan operasional dan pemeriksaan syariah dan peraturan perundang-undangan.

Fungsi Badan Pelaksana adalah melaksanakan kebijakan Badan Amil Zakat dalam program pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat. Tugasnya:
a.    Membuat rencana kerja yang meliputi rencana pngumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat.
b.    Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
c.    Menyusun laporan tahunan
d.   Menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai tingkatannya.
e.    Bertindak dan bertanggung jawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat baik kedalam maupun keluar (pasal 7 Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000).

Struktur Organisasi BAZ Kabupaten / Kota

Dewan pertimbangan
Badan
Pelaksana
Komisi
 Pengawas
Ketua
Wk. ketua
Ketua
Wk. ketua I
Bendahara----Wk. ketua II----Sekretaris
Wk. sekretaris I
Wk. sekretaris II
Ketua
Wk. ketua
Sekretaris
Wk. sekretaris

Sekretaris
Wk. sekretaris

Anggota 5 orang

Anggota 5 orang


Kepala seksi
Pengumpulan
Kepala seksi
Pendistribusian
Kepala seksi Pendayagunaan
Kepala seksi
Pengembangan
UPZ-UPZ
Staf-staf
Staf-staf
Staf-staf
Muzakki
Mustahiq
Mustahiq
Motivator

D.       TEHNIK PENGUMPULAN  ZAKAT OLEH BAZ-LAZ
Dalam pelaksanaannya BAZ dan LAZ mempunyai berbagai tehnik pengumpulan zakat diantaranya:
a.         Membentuk “tim penyuluh” guna melaksanakan sosialisasi sadar Zakat, Infak dan Shadaqah melalui dinas/instansi, BUMN/BUMD, asosiasi pengusaha muslim dan organisasi lainnya.
b.        Membentuk pengurus UPZ (Unit Pengumpul Zakat)
c.         Melakuklan sosialisasi “Gerakan Sadar Zakat” melalui berbagai jalur seperti penerbitan buletin, pembuatan brosur, panflet serta pemasangan baliho di tempat-tempat strategis.
d.        Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak sebagai peningkatan pengumpulan ZIS, seperti: pasaraya, program sms amal, dll.
e.         Mengoptimalkan petugas Juru Pungut (JUPUNG) dari berbagai daerah. Dll.

E.     PENDISTRIBUSIAN ZAKAT
Zakat yang telah terkumpul di lembaga pengelola zakat, harus segera disalurkan kepada mustahik sesuai skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja, sesuai dengan surat at Taubah ayat 60:
1.      Fakir dan miskin
Walaupun kedua kelompok ini berbeda tetapi dalam teknis operasionalnya sering disamakan, yaitu mereka tidak memiliki penghasilan sama sekali atau memiliki tetapi tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Zakat yang disalurkan ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi keperluan sehari-hari dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal kerja.
2.      Kelompok amil
Kelompok ini berhak menerima zakat maksimal seperdelapan dengan catatan bahwa petugas zakat ini memang melakukan tugas keamilan dengan sebaik-baiknya dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut.
3.      Kelompok muallaf
Yaitu kelompok yang dianggap masih lemah imannya karena baru masuk Islam. Mereka diberi zakat agar bertambah kesungguhannya dalam ber-Islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala pengorbanan mereka dengan sebab masuk Islam tidaklah sia-sia.
4.      Dalam memerdekakan budak berlian.
Yaitu bahwa zakat antara lain dipergunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk perbudakan.
5.      Kelompok gharimin
Kelompok orang yang berhutang yang sama sekali tidak bias melunasinya. Tiga kelompok orang yang termasuk kategori hutang: orang yang hartanya terbawa banjir atau orang yang hartanya musnah terbakar, orang yang berhutang untuk kemaslahatan orang atau pihak lain, orang yang mempunyai keluarga tetapi tidak mempunyai harta untuk menafkahi keluarganya sehingga ia berhutang.


6.      Kelompok fi sabilillah
Pada zaman rasulullah yang dimaksud fi sabilillah adalah sukarelawan perang yang tidak mempunyai gaji tetap, tetapi dalam konteks sekarang bias dianalogikan kepada ustadz, guru, pelatihan para da’I, bisa untuk pembangunan masjid, dll. 
7.      Kelompok Ibnu sabil
Yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan. Bias juga untuk membiayai sekolah anak-anak jalanan yang kini semakin banyak jumlahnya.
Tugas  utama BAZ dan LAZ dalam mendistribusikan zakat adalah menyusun skala prioritas berdasarkan program-program yang disusun berdasarkan data-data yang akurat. Karena BAZ dan LAZ sekarang jumlahnya semakin banyak maka perlu adanya semacam spesifikasi dari masing-masing lembaga. Misalnya lembaga zakat A mengkhususkan program-progamnya untuk usaha produktif, lembaga B untuk pemberian daripada beasiswa dan pelatihan-palatihan, sehati (sehat ibu dan buah hati) santunan anak yatim, dan program sosial lainnya.



PENUTUP
KESIMPULAN
1.      BAZ merupakan organisasi pengelolaan zakat yang dibentuk oleh pemerintah, sedangkan LAZ merupakan organisasi pengelolaan zakat yang dibentuk atas prakarsa masyarakat
2.      Berbagai tehnik pengumpulan zakat oleh BAZ dan LAZ diantaranya:
a.         Membentuk “tim penyuluh” guna melaksanakan sosialisasi sadar Zakat, Infak dan Shadaqah melalui dinas/instansi, BUMN/BUMD, asosiasi pengusaha muslim dan organisasi lainnya.
b.         Membentuk pengurus UPZ (Unit Pengumpul Zakat)
c.         Melakuklan sosialisasi “Gerakan Sadar Zakat” melalui berbagai jalur seperti  penerbitan buletin, pembuatan brosur, panflet serta pemasangan baliho di tempat- tempat strategis.
d.        Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak sebagai peningkatan pengumpulan ZIS, seperti: pasaraya, program sms amal, dll.
e.         Mengoptimalkan petugas Juru Pungut (JUPUNG) dari berbagai daerah. Dll.
3.      Pendistribusian zakat diberikan kepada mustahik sesuai skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja, sesuai dengan surat at Taubah ayat 60:
a.       Fakir dan miskin
b.      Kelompok amil
c.       Kelompok muallaf
d.      Dalam memerdekakan budak berlian.
e.       Kelompok gharimin
f.       Kelompok fi sabilillah
g.      Kelompok ibnu sabil



DAFTAR PUSTAKA
Abidah, Atik. Zakat, Filantropi dalam Islam Refleksi Nilai Spiritual dan Charity. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011.
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum dan Pemberdayaan Zakat Upaya Sinergis Wajib Zakat dan Pajak di Indonesia. Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2006.
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani, 2002.
Muhammad dan Mas’ud , Ridwan, Zakat dan Kemiskinan, Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. Yogyakarta: UII Press, 2005.


[1] Atik Abidah, Zakat, Filantropi dalam Islam Refleksi Nilai Spiritual dan Charity (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011).,9.
[2] Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat Upaya Sinergis Wajib Zakat dan Pajak di Indonesia (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2006).,12.
[3] Ibid.,99.
[4] Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002).,131.
[5] Muhammad dan Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan, Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat (Yogyakarta: UII Press, 2005).,127.

fatwa perbankan syari'ah

A.    Latar Belakang
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut segala kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.
         Dalam kegiatannya bank diatur dalam sebuah undang-undang, diantaranya UU No.10 tahun 1998 perubahan atas UU No.7 tahun 1992 serta UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah. Kegiatan bank syariah diatur  oleh fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).  Dalan hal ini DSN-MUI akan memberikan kritik  atas kegiatan yang dilakukan bank syariah yang tidak sesuai dengan semestinya fatwa tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana fatwa DSN-MUI tentang praktek perbankan Syari’ah sekarang ini?
2.      Bagaimana strategi pengembangan pasar perbankan syariah di Indonesia?
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia
Pada dasarnya entitas bank syariah di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1983 dengan keluarnya puket desember 1983 (pakdes 83) yang berisi sejumlah regulasi dibidang perbankan dimana salah satunya ada peraturan yang memperbolehkan bank memberikan kredit dengan bunga 0% (zero interest). Perkembangan dimaksud diikuti oleh serangkaian kebijakan dibidang perbankan oleh mentri keuangan radius prawiro  yang tertuang dalam paket oktober 1988 (pakto 88). Pakto 88 intinya merupakan deregulasi perbankan yang memberikan kemudahan bagi pendirian bank – bank baru, sehingga industry perbankan pada waktu itu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Baru pada tahun 1991 berdirilah bank mu’amalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum satu- satunya yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Introduksi bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam hukum positif adalah melalui undang – undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan peraturan pemerintah No 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip Bagi Hasil.
Dengan demikian sejak tahun 1992 industri perbankan Indonesia secara teknis yuridis telah mengenal istilah bank berdasarkan pada prinsip bagi hasil. Namun, disisi lain telah kita ketahui bahwa bank syariah dalam pengoprasianya tidak semata – mata berdasarkan pada prinsip bagi hasil, melainkan terdapat akad – akad tradisional islam yang didalamnya dapat di implementasikan dalam praktik bank bebas bunga yang dimaksud. Akad – akad tradisional islam atau yang sering disebut sebagai prinsip syariah, merupakan instrument yang menggantikan system konvensional berupa bunga (riba), ketidakpastian (gharar), perjudian (maisyir), dan batil yang merupakan unsur – unsur yang dilarang dalam islam.
Berdasarkan peradigma tersebut serta adanya realitas empiris yang menunjukan bahwa bank – bank konvensional banyak yang tidak sanggup bertahan disaat krisis keuangan dan moneter melanda. Maka mendorong pemerintah untuk mengamandemenkan undang – undang nomor 7 tahun 1992 dituangkan dalam undang –undang nomor 10 tahun 1998 undang –undang inilah yang mempertegas eksistensi perbankan syariah di Indonesia.
Era undang – undang nomor 10 Tahun 1998, kebijakan hukum perbankan di Indonesia menganut system perbankan ganda (dual banking system). Kebijakan ini intinya memberikan kesempatan bagi bank – bank umum konvensional untuk memberikan layanan syariah melalui mekanisme Islamic window dengan terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). Akibatnya pasca undang – undang ini memunculkan banyak bank konvensional yang ikut andil dalam memberikan layanan syariah kepada nasabahnya.
Pemberian layanan syariah semakin dipermudah dengan diperkenalkanya konsep office chanceling dalam peraturan bank Indonesia (PBI) nomor 8/3/PBI/2006. Bahwa untuk memberikan layanan office chanceling intinya adalah bahwa dalam memberikan layanan syariah Bank Umum konvensional yang sudah memiliki UUS di kantor pusatnya, tidak perlu lagi membuka kantor cabang / kantor cabang pembantu baru melainkan cukup membuka counter syariah dalam kantor cabang / kantor cabang pembantu konvensional. Hal ini tentu saja akan menghemat keuangan bank, karena tidak lagi memerlukan infrastruktur baru seperti gedung, alat – alat kantor, karyawan dan teknologi informasi.
Bank umum syariah (BUS) selain BMI, pasca undang – undang nomor 10 tahun 1998 adalah didirikannya bank syariah mandiri yang merupakan hasil akuisisi dan konversi PT. bank susila bakti oleh PT. bank mandiri (persero) “TBK”. Disamping itu Bank Mega juga telah melakukan proses yang sama dengan membentuk PT. Bank Syariah Mega. Sedangkan bank – bank lain, seperti PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) (TbK), PT. Bank Negara Indonesia (persero)”TbK, bank permata dan sebagainya dalam memberikan layanan syariah masih dalam kerangka UUS.
Disisi produk, perbankan syariah mendasarkan pada sejumlah fatwa yang dikeluarkan oleh dewan syariah nasional – majelis ulama Indonesia (DSN-MUI),antara lain yakni fatwa No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudhorobah, fatwa No.08/DSN/MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarokah.
Materi muatan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI kemudian menjadi materi muatan dalam berbagai PBI. Hal ini terlihat jelas dalam PBI No.7/46/PBI 2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan keegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. PBI ini saat ini telah dicabut dengan PBI No. 9/19/pbi 2007 tentang pelaksanaan Prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana serta pelayanan jasa bank syariah, sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008.
Dalam PBI no 9/19/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana, atau penyaluran dan pelayanan dilakukan sebagai berikut :
1.    Dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain akad wadi’ah dan mudhorobah.
2.    Dalam kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan dengan mempergunakan antara lain akad mudhorobah, musyarokah, murabahah, salam, istisna’,ijaroh, ijaroh muntahiya bittamlik dan qordh, dan
3.    Dalam kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan akad antara lain akad kafalah, hawalah, dan sharf.
Menurut Wirdyaningsih dkk, hingga terbitnya undang – undang No.10 tahun 1998, Indonesia telah melewati dua tahapan pembinaan, yaitu “tahapan perkenalan”(introduction) yang ditandai dengan diberlakukanya undang – undang No,7 tahun 1992, dan tahapan pengakuan (recocnition) yang ditandai diberlakukanya UU No.10 th 1998. Tahapan yang dikendaki berikutnya adalah “tahapan pemurnian” (purification) yang nanti akan ditandai dengan diberlakukanya UU yang secara khusus mengatur perbankan syariah.
Dengan demikian “tahapan pemurnian“ saat ini sudah didepan mata, karena pada tanggal 17 juni 2008 telah disahkan UU perbankan syariah yang pengundanganya dalam lembaran Negara dilakukan tanggal 16 juli 2008, yakni UU No 21 th 2008 tentang perbankan syariah. Undang – undang dimaksud memperkenalkan beberapa  muatan baru dalam lembaga hokum baru yang ditujukan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka penyusunan PBI yang materi muatanya berasal dari fatwa Majelis Ulama Indonesia, bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah. Tata cara pembentukan, keanggotaan dan tugas komite perbankan syariah nantinya akan diatur dalam PBI. Adanya ketentuan ini akan memunculkan sinergi antara Dakwah Syariah Nasional dengan bank Indonesia selaku pemegang otoritas perbankan nasional.
PBI yang secara khusus merupakan peraturan pelaksana dari UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan telah diundangkan hingga saat ini yaitu:
1.    PBI No. 10/16/PBI 2007 tentang pelaksana prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
2.    PBI No. 10/17/PBI 2008 tentang produk bank syariah dan unit usaha syariah.
3.    PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang rekonstruksi pembiayaan bagi bank syariah.
4.    PBI No.10/23/PBI/2008 tentang perubahan kedua atas PBI No.6/21/PBI/2004 tentang giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
5.    PBI No. 10/24/PBI/2008 tentang perubahan kedua atas PBI No. 8/21/PBI/2006 tentang penilaian kualitas aktiva bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
6.    PBI No. 10/32/PBI/2008 tentang komite perbankan syariah.
Undang – Undang No.21 tahun 2008 juga memberi kesempatan kepada warga Negara asing dan atau badan hukum asing untuk mendirikan atau memiliki BUS secara kemitraan dengan warga Negara Indonesia dan atau badan hokum Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa bank syariah merupakan sector yang terbuka bagi investor asing yang bermaksud atau memiliki BUS secara joint venture, sehingga ketentuan – ketentuan yang ada didalam UU No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dan peraturan pelaksanaanya perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh para pihak terkait.
Berdasarkan statistic perbankan syariah (Islamic bank statistic) yang dikeluarkan bak Indonesia pada bulan November 2008 jaringan kantor networking terdiri dari 4 (empat) bank umum syariah, yakni PT. Bank Muamalat Indonesia, PT. Bank Syariah Mandiri, PT. Bank Syariah Mega Indonesia dan PT. Bank Syariah BRI. Unit usaha Syariah (UUS) bank konvensional yang memberikan layanan syariah berjumlah 27 dan bank perkreditan rakyat syariah berjumlah 128.16
Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Melihat perkembangan hukum yang menopang industry perbankan syariah di Indonesia berlangsung begitu pesat, maka akan menimbulkan implikasi baik yang positive maupun yang negative. Untuk itu maka perlu ada kesiapan dari pelaku bisnis dibidang perbankan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi dan pemahaman terkait dengan aspek – aspek perbankan syariah menyangkut aspek fikih maupun aspek hukum positif yang mengitarinya, serta kecermatan dalam pengembangan produk perbankan syariah.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu  pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.




B.     Fatwa DSN-MUI  Tentang Perbankan Syari’ah
a.    Fatwa tentang akad Mudharabah (bagi hasil)
Akad Mudharabah merupakan  akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu,akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah. Dalam fatwa nomor tersebut disebutkan: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 43) Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.”[1]
Tetapi Praktek perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional. Tetapi fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha.
b.      Fatwa Tentang Murabahah Kontemporer.
Akad Murabahah  adalah satu satu produk perbankan syariah yang banyak diminati  masyarakat. Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan atau kredit dalam perbankan  konvensional  yang tentu sarat dengan riba. Kebanyakan ulama dan juga berbagai lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan akad murabahah kontemporer. Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI, juga membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya no: 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa DSN ini, menjadi payung dan pedoman bagi perbankan syariah dalam menjalankan akad murabahah.  DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal.24) dalam hal ini bank mana yang benar-benar menerapkan ketentuan ini sehingga barang yang diperjual belikan benar-benar telah dibeli oleh bank.  Pada prakteknya, perbankan syariah, hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang (bayar uang muka). Tidak ada bank yang berani menuliskan pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah. Seperti kita  mengetahui bahwa perbankan di negeri kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi dan faktanya, bank tidak dibenarkan untuk melakukan praktek perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah melanggar ketentuan DSN MUI di atas.
C.    Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syari’ah
1.      Program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
2.      Program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan  dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
3.      Program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
4.      Program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dll.






PENUTUP

Kesimpulan
1.      Kegiatan yang dilakukan oleh Bank Syariah dalam prakteknya belum sesuai dengan fatwa DSN-MUI, baik dalam kegiatan mudhorobah (bagi hasil), maupun dalam kegiatan murabahah kontemporer.
2.      Strategi yang dilakukan bank syariah dalam pengembangan pasarnya adalah:
a.       Program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal bagi semua lapisan masyarakat.
b.      Program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan  dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
c.       Program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
d.      Program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dll.




DAFTAR PUSTAKA

Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI
UU No.10 tahun 1998 Perubahan Atas Undang-undang  Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan
UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah.
UU No.7 tahun 1992 Tentang Perbankan



[1] Himpunan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI.,45.